ISLAM DAN POLITIK

Sumber tulisan ini dari yang ditulis oleh Yudi Latif dalam kolom di Harian Republika, 18 Mei 2013. Saya merasa penting untuk mengutip karena sangat bermanfaat sebagai referensi atau perluasan wawasan dalam kajian pembelajaran di kelas Sosiologi mengenai keanekaragaman masyaraka Indonesia sebagai masyarakat majemuk atau multikultural atau plural.
Diuraikan dalam tulisan tersebut bahwa dari sejumlah survei dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa Masyarakat Indonesia saat ini jauh lebih ”religius” (taat beribadah) dibanding pada dekade 1950-an. Survei Nasional Reform Institute belum lama ini menemukan, rata-rata 73 persen dari total pendukung 10 partai terbesar menyatakan selalu menjalankan ibadah. Dengan gambaran tersebut, sulit melakukan kategorisasi aliran kepartaian berdasarkan ketaatan keagamaannya, seperti dalam tipologi Clifford Geertz. Dengan alasan, baik pengikut partai-partai Islam maupun partai nasionalis, memiliki tingkat ketaatan beribadah yang relatif sama. Meskipun, masyarakat Indonesia berkembang ke arah yang lebih religius, tidaklah otomatis mengarah pada meningkatnya dukungan terhadap partai-partai Muslim (berasas Islam maupun Pancasila). Pada Pemilihan Umum 1998, jumlah suara yang diperoleh oleh semua partai Muslim, termasuk partai-partai yang menjadikan Pancasila sebagai asasnya, hanya sebesar 36,38 persen. Pada Pemilu 2004, total persentase suara yang diperoleh seluruh partai-partai Muslim sedikit naik dari pemilu sebelumnya, yakni 38,1 persen. Pada Pemilu 2009, total persentasenya lebih merosot, tapi mungkin tidak bisa dijadikan ukuran karena Pemilu 2009 ini penuh dengan “skandal”. Gambaran itu menunjukan bahwa capaian-capaian partai Muslim tidak pernah melampaui hasil Pemilu 1955, yakni sekitar 42 persen. Kendati partai-partai Muslim tidak mencapai kemajuan, terdapat perkembangan lain yang tak kalah menarik. Fenomena kepartaian pada era reformasi ini ditandai oleh kesediaan yang lebih genuine dari para aktivis Islam untuk memasuki partai-partai nasionalis; bukan saja partai Golkar yang sejak Orde Baru telah dimasuki banyak alumni HMI, melainkan juga partai-partai nasionalis lainnya, seperti Partai Demokrat, Gerindra, dan Hanura; bahkan PDIP sebagai representasi sesungguhnya dari Partai Nasional Indonesia di masa lampau merasa perlu untuk menampung secara khusus para aktivis dan aspirasi Islam ini lewat pembentukan Baitul Muslimin Indonesia. Dengan perkembangan seperti itu, kecenderungan Islamofobia dalam politik Indonesia mulai terkikis, seiring dengan melemahnya kekuatan politik Islam formalis. Hal ini memberi titik keseimbangan yang membawa moderasi dalam ekspresi politik keislaman di Indonesia. Perkembangan ini menjadi landasan yang baik bagi perkembangan demokrasi dan pertumbuhan Muslim demokrat di Indonesia. Islam akan lebih dimaknai dalam kerangka substansinya sebagai pemasok nilai-nilai etik yang bersifat universal dalam kehidupan politik dan bernegara. Dengan mengurangi obsesinya pada Islam simbolik yang selalu menarik garis perbedaan dengan yang lain, ekspresi Islam substantif akan memberi iklim yang kondusif bagi pengembangan inclusive citizenship yang mengakui hak kewargaan para pemeluk agama lainnya. Secara historis, Islam di Indonesia dibangun di atas landasan kedamaian dan toleransi. Meskipun doktrin serta mazhab radikal selalu ada, pengaruh mereka relatif terbatas dan dilunakkan oleh dinamika kekuatan sentripetal dan sentrifugal wacana internal Islam. Sepanjang sejarah dan dalam beragam bentuknya, pasang surut pemikiran Islam di negeri ini relatif telah membentuk elemen radikal yang cukup moderat yang secara pragmatis mengakui keberadaan sistem pluralistik yang menjadi dasar berdirinya negara Indonesia. Keragaman internal dalam Islam menyulitkan terbentuknya representasi Islam yang monolitik serta memberi mekanisme bawaan bagi moderasi Islam. Dengan kondisi seperti itu, terbuka lebar kemungkinan untuk mentransendensikan perbedaan-perbedaan religiokultural, memperlunak perbedaan-perbedaan itu dan menjadikannya berada pada batas toleransi tatanan yang beradab. Diskursus tentang Islam dan demokrasi telah berakar panjang dalam sejarah Indonesia. Setidaknya, sejak 1920-an, bersamaan dengan arus masuk dan pertarungan ragam ideologis dalam ruang publik inteligensia baru Indonesia, upaya untuk mengaitkan perjuangan Islam dan demokrasi mulai bersemi. Tjokroaminoto bersama para sejawat modernisnya di SI/PSII- sebagai orang-orang berpendidikan modern yang terbuka terhadap pemikiran politik Barat kontemporer, percaya bahwa demokrasi dan prinsip-prinsip demokrasi haruslah menjadi dasar bagi perjuangan Islam. “Jika kita, kaum Muslim, benar- benar memahami dan secara sungguh-sungguh melaksanakan ajaran-ajaran Islam, kita pastilah akan menjadi para demokrat dan sosialis sejati,” ungkapnya (Tjokroaminoto 1952: 155). Bahkan, Mohammad Natsir, yang sering dinisbatkan sebagai intelektual Islamis yang memperjuangkan negara Islam tak pernah mendikotomikan Islam dan demokrasi. Dia percaya bahwa konsep negara Islam tidak bisa dicapai melalui kekuatan bersenjata, melainkan harus diperjuangkan melalui tata politik yang demokratis. “Sejauh berkait dengan (pilihan) kaum Muslim, demokrasilah yang diutamakan karena Islam hanya bisa berkembang dalam sistem yang demokratis” (Kahin 1993: 161). Dengan demikian, agama dan politik tidak harus dipisahkan sejauh negara bersifat netral dan sanggup melindungi ekspresi tiap-tiap pemeluk agama. Harus dibedakan antara negara yang melindungi agama dan agama yang merepresentasikan agama. Yang harus dihindari adalah kemungkinan negara merepresentasikan ekspresi tunggal keagamaan, terlebih jika berlangsung dalam konteks negara bangsa yang plural. Alih-alih dipisahkan, krisis politik sebagai manifestasi dari kebangkrutan moralitas dan spiritualitas ruang publik menghendaki dipulihkannya kembali hubungan (etika) agama dan politik. Ketika agama tersudut dari ruang publik ke ruang privat, yang muncul adalah ekspresi spiritualitas personal yang terputus dari kehidupan publik. Sebaliknya, politik sekular memandang rendah nilai-nilai agama dan mengabaikan signifikansi kesalehan spiritual. Yang muncul adalah spiritualitas tanpa pertanggungjawaban sosial dan politik tanpa jiwa. Alhasil, Islam dan agama-agama lainnya bisa memberi kontribusi besar bagi penciptaan budaya demokrasi, tapi juga bisa menghancurkannya. Bergantung pada dimensi keagamaan yang ditumbuhkan. Untuk membuat agama bermanfaat bagi kehidupan publik demokratis yang harus dihidupkan adalah dimensi etis dan misi profetik agama yang bersifat universal yang diarahkan bagi perwujudkan kemaslahatan bersama; kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

2 komentar:

  1. ustad, bagaimana keadaan jam"iyyah kita di sekitar cianjur, dalam ranah politik perbedaan sellalu menjadi sensitif, terutama dalam pandangan politik?

    BalasHapus
    Balasan
    1. biasa saja politik hanya salah satu aspek dari kajian islam yang penting sudut pandang kita tetap berpijak pada nalar sehat dan tuntunan al-qur'an dan sunnah disertai keikhlasan, tanpa itu semuanya menjadi besar.

      Hapus